SAMARINDA.JURNALETAM – Masalah hak-hak buruh yang belum terpenuhi di Kalimantan Timur (Kaltim) terus menjadi sorotan utama dalam ranah perbincangan publik. Dari isu pesangon hingga upah lembur, tantangan yang dihadapi para buruh di wilayah ini masih menjadi polemik yang belum terselesaikan. Sebagai respons terhadap keluhan yang semakin mengemuka, Komisi IV DPRD Kaltim beberapa waktu lalu memanggil perwakilan dari dua perusahaan besar, yaitu PT Ekalia di bidang pelayaran dan PT Sinar Nirmala Sari (SNS) site Kitadin. Buruh di kedua perusahaan ini melaporkan ketidakpuasan mereka terkait pemenuhan hak-hak buruh.
Ketua Komisi IV DPRD, Akhmed Reza Fachlevi, menjelaskan bahwa salah satu kendala utama terkait pelunasan upah lembur sebesar Rp5,2 miliar adalah penggunaan serikat kerja yang berbeda saat masuk kerja. Reza menyatakan bahwa masalah ini menjadi hambatan karena proses pencairan harus mengikuti prosedur serikat yang digunakan oleh para buruh saat masuk kerja.
“Kendala utama adalah penggunaan serikat kerja yang berbeda saat masuk kerja, sehingga pencairan harus mengikuti prosedur serikat yang mereka gunakan,” ungkap Reza.
Reza kemudian mengajak buruh di Kaltim untuk mengikuti serikat kerja yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi (pemprov) atau Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans). Ia juga mendorong agar Disnakertrans melakukan pendataan terkait serikat kerja yang sesuai dengan regulasi Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker). Langkah-langkah ini diharapkan dapat memberikan arahan yang lebih jelas bagi para buruh dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Namun, tanggapan terhadap saran Reza tidak sepenuhnya positif. Beberapa kalangan mengkritik pendekatan ini, menyebutnya sebagai usaha untuk membatasi kebebasan asosiasi pekerja. Mereka berpendapat bahwa hak untuk memilih serikat kerja seharusnya menjadi hak dasar bagi setiap pekerja, dan campur tangan pemerintah dalam hal ini dapat dianggap sebagai pembatasan terhadap hak tersebut.
Para aktivis buruh dan kelompok advokasi hak-hak pekerja juga ikut memberikan komentar terkait isu ini. Mereka menyoroti perlunya pendekatan yang lebih holistik terhadap permasalahan hak-hak buruh di Kaltim. Salah satu perwakilan dari LSM Advokasi Buruh, Siti Rahma, menyatakan bahwa fokus utama seharusnya adalah menjamin perlindungan hak-hak pekerja tanpa mengorbankan kebebasan asosiasi.
“Penting bagi pemerintah dan perusahaan untuk bersama-sama mencari solusi yang tidak hanya memenuhi kebutuhan bisnis, tetapi juga melindungi hak-hak pekerja. Jangan sampai upaya penyelesaian malah menciptakan ketidaksetaraan atau merugikan satu pihak,” tegas Siti Rahma.
Selain itu, isu pesangon dan upah minimum juga menjadi sorotan dalam perbincangan ini. Beberapa pekerja di sektor pelayaran, seperti yang diwakili oleh PT Ekalia, mengeluhkan kurangnya kejelasan terkait besaran pesangon yang mereka terima. Hal ini menciptakan ketidakpastian finansial bagi buruh yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja.
Menanggapi hal ini, Asisten Direktur Eksekutif Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kaltim, Budi Santoso, menyatakan bahwa penting untuk menetapkan standar yang jelas terkait pesangon. “Tanpa kejelasan ini, pekerja cenderung menjadi korban ketidakpastian dan dapat merugikan penghidupan mereka serta keluarganya,” ujar Budi Santoso.
Upah minimum juga menjadi titik sentral perdebatan, dengan beberapa pekerja menganggap bahwa besaran upah yang diterapkan belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Beberapa perusahaan, termasuk PT Sinar Nirmala Sari (SNS) site Kitadin, dihadapkan pada kritik keras terkait praktik upah yang dianggap tidak sesuai dengan standar yang berlaku.
Dalam menghadapi permasalahan ini, beberapa pihak berpendapat bahwa diperlukan reformasi dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum terkait hak-hak buruh. Peran aktif dari instansi terkait, termasuk Disnakertrans dan Kemenaker, dianggap sangat krusial dalam memastikan perlindungan hak-hak pekerja.
Selain itu, mendukung inisiatif yang memperkuat posisi serikat pekerja dan memberikan kebebasan kepada pekerja untuk bersatu tanpa takut represi merupakan langkah yang dianggap penting dalam membangun sistem kerja yang adil dan berkeadilan.
Dalam mengakhiri polemik ini, penting bagi semua pihak terlibat untuk duduk bersama dalam dialog konstruktif. Dialog ini tidak hanya melibatkan pemerintah, perusahaan, dan buruh, tetapi juga memasukkan peran LSM dan kelompok advokasi hak-hak pekerja sebagai mitra yang memiliki pandangan independen.
Terkait dengan serikat kerja, langkah-langkah konkrit perlu diambil untuk memastikan bahwa pekerja memiliki akses informasi yang cukup terkait dengan serikat kerja yang mereka pilih. Pemerintah dan perusahaan dapat bekerja sama untuk memberikan pemahaman yang lebih baik terkait peran dan fungsi serikat kerja serta memberikan jaminan bahwa pekerja tidak akan mengalami diskriminasi apapun atas pilihan serikat kerja yang mereka ikuti.
Demikian pula, perusahaan perlu mengintrospeksi praktik-praktik mereka terkait pesangon, upah minimum, dan upah lembur. Reformasi internal dan komitmen untuk mematuhi regulasi yang berlaku dapat menjadi langkah awal dalam membangun hubungan yang lebih sehat antara perusahaan dan buruh.
Kaltim memiliki potensi besar untuk menjadi contoh bagi wilayah lain dalam membangun sistem ketenagakerjaan yang berkeadilan. Dengan kolaborasi yang kuat antara semua pihak terlibat, hak-hak buruh dapat dijamin, dan lingkungan kerja yang adil dapat tercipta. Maka dari itu, keberlanjutan pembicaraan dan langkah-langkah konstruktif perlu diambil agar Kaltim bisa menjadi lighthouse dalam mewujudkan keadilan bagi seluruh buruh di Indonesia.(ADV/DPRD Kaltim)