Nostalgia dalam Setiap Bambu: Kisah 30 Tahun Penjual Lemang di Samarinda

Jurnaletam.Samarinda – Di tengah riuhnya kendaraan yang berlalu-lalang di Jl. Pulau Sebatik No.01, tepat di depan Bank BNI dekat Pelabuhan, berdirilah seorang wanita berusia 56 tahun, Saidah, yang tak pernah goyah oleh arus zaman. Selama lebih dari tiga dekade, ia menghidupi tradisi yang tak pernah pudar, menghadirkan lemang, kuliner khas yang dipanggang dalam bambu, dengan segala cinta dan ketelatenan.

Setiap hari, aroma lemang buatannya menyusup ke hati para pelintas, meski tak ada asap atau bara api yang terlihat di lokasi jualannya. Dari sebuah sudut di Samarinda, ia memancarkan kehangatan tradisi yang bertahan di tengah derasnya modernitas.

Proses sakral memasak lemang itu tak dilakukan di tempat ia menjual, tetapi di rumahnya, sebuah tempat sederhana di kawasan Perjuangan. Di sana, dengan penuh kesabaran, ia mempersiapkan setiap bambu, mengisi lemang dengan ketan yang ia pilih cermat. Setiap potongan bambu yang ia bawa ke lapak adalah hasil dari kerja keras yang tak terlihat, buah dari keteguhan yang telah ia jalani selama puluhan tahun.

Perjalanan panjang ini dimulai sejak Saidah berusia 26 tahun, ketika harga lemang hanya Rp 2.000 per potong. Kini, meski dengan berat hati, ia harus menaikkan harga menjadi Rp 2.500, menyesuaikan diri dengan zaman yang memaksa harga-harga melambung tinggi.

“Dulu waktu pertama jualan, harganya cuma 2 ribu. Tapi sekarang, karena bahan-bahan naik, saya terpaksa naikkan harga jadi 2.500,” katanya sambil menatap tumpukan bambu di lapaknya.

Setiap harinya, sekitar 3 kilogram beras ketan ia masak di rumah, menghasilkan 6 hingga 7 bambu lemang. Namun, pada hari-hari khusus seperti Ramadhan, Lebaran, atau Maulid Nabi, pesanan bisa membengkak hingga 20 bambu.

“Paling ramai kalau Ramadhan, Lebaran, sama Maulid. Alhamdulillah, ada peningkatan pembeli,” ungkapnya dengan senyum penuh syukur, senyum yang menyembunyikan lelah namun penuh kepuasan.

Harga satu bambu lemang kini mencapai Rp 40.000, namun para pelanggan setia tak pernah surut. Mereka tak hanya mencari cita rasa lemang yang khas, tetapi juga mencari kenangan, meresapi kembali nostalgia yang dibawa oleh tiap gigitan.

Setelah ritual memanggang lemang selesai, dengan tubuh yang terkadang sudah terasa letih, ia menuju lapaknya. Di depan Bank BNI, ia berdiri dari pukul 4 sore hingga larut malam, tak pernah menyerah pada rasa lelah, hingga dagangannya habis terjual.