Komisi IV DPRD Kaltim Soroti Rendahnya Kepatuhan Pasien TBC di Kaltim, Andi Satya: Ancaman Resistensi Obat Mengintai

JURNALETAM.SAMARINDA – Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Andi Satya Adi Saputra, mengaku prihatin terhadap rendahnya kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan tuberkulosis (TBC) di wilayah Kaltim.

Menurutnya, tingginya angka pasien yang menghentikan pengobatan sebelum waktunya menjadi tantangan serius dalam upaya pengendalian TBC dan dapat memicu resistensi obat.

“Kepatuhan berobat jadi kunci. TBC itu pengobatannya tidak seperti sakit kepala yang cukup sekali minum obat. Ini butuh waktu berbulan-bulan, minimal enam bulan. Tapi seringkali pasien malah berhenti di tengah jalan karena bosan atau tidak ada yang mengawasi,” Ungkap Andi Satya. Jum’at (23/5/2025).

Lebih lanjut, Andi Satya menjelaskan bahwa ketidakteraturan dalam minum obat membuat bakteri TBC menjadi kebal terhadap pengobatan lini pertama. Kondisi ini, katanya, memaksa pasien harus menjalani pengobatan dengan lini kedua atau bahkan ketiga, yang selain lebih mahal, juga memiliki efek samping yang lebih berat.

“Kalau hari ini minum, besok tidak, lusa baru minum lagi, itu bisa menimbulkan resistensi,” Jelas Andi Satya.

Pernyataan ini disampaikan menanggapi laporan Dinas Kesehatan Kaltim yang mencatat angka keberhasilan pengobatan atau Treatment Success Rate (TSR) TBC di Kaltim baru mencapai 77,15 persen untuk periode Januari hingga April 2025. Dari total 3.356 pasien, hanya 1.896 yang menyelesaikan pengobatan. Sisanya, 286 pasien putus berobat, 152 meninggal dunia, dan 12 mengalami kegagalan. Adapun daerah dengan beban kasus tertinggi adalah Samarinda dan Balikpapan, dengan TSR masing-masing 75,42 persen dan 77,38 persen.

Untuk itu, politisi dari partai Golkar itu mendorong pemerintah daerah, terutama Dinas Kesehatan, untuk meningkatkan peran keluarga dan kader kesehatan dalam mendampingi pasien. Menurutnya, edukasi dan pengawasan di tingkat komunitas sangat penting untuk memastikan pasien menyelesaikan seluruh tahapan pengobatan.

“Kalau tidak diawasi, pasien bisa putus obat. Dan itu tidak hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga lingkungan karena TBC bisa menular,” Pungkas Andi Satya.