SAMARINDA. Konflik lahan terus berulang di Kalimantan Timur (Kaltim), dan bagi Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Didik Agung Eko Wahono, penyebab utamanya bukan sekadar tumpang tindih kepemilikan atau lemahnya pengawasan daerah. Ia menyebut persoalan itu berakar dari sistem kewenangan pertanahan yang tersentralisasi di pemerintah pusat.
“Semua izin dan pengawasan berada di pusat. Kami di daerah hanya bisa mengawasi dan melaporkan, tapi tidak punya kuasa langsung untuk menyelesaikan,” ujar Didik, politisi PDI Perjuangan, saat ditemui di Samarinda, Senin (16/6/2025).
Didik menuturkan, sebagian besar aduan masyarakat yang masuk ke DPRD berasal dari daerah pemilihannya, yang mencakup wilayah-wilayah padat konsesi tambang dan perkebunan sawit. Warga kerap mengeluhkan praktik perusahaan yang dinilai merugikan, termasuk dugaan pelanggaran izin dan perampasan lahan
“Bukan sekali dua kali warga datang mengadu soal tanah mereka yang dikuasai perusahaan besar. Tapi kami tidak bisa langsung bertindak, karena ranahnya bukan di provinsi, melainkan pusat,” jelas mantan Wakil Ketua DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) itu.
Menurut Didik, kondisi ini menunjukkan ketimpangan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Ia mendorong agar pemerintah pusat mengevaluasi regulasi pertanahan nasional dan mengembalikan sebagian kewenangan ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
“Jika daerah diberi kewenangan lebih besar, saya yakin penyelesaian sengketa agraria bisa dilakukan lebih cepat dan lebih adil,” ujarnya.
Bagi Didik, konflik lahan tidak hanya menyangkut persoalan hukum administratif, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan ekonomi. Ia menyebut banyak warga kehilangan sumber penghidupan akibat ketidakjelasan batas lahan atau tergusur oleh proyek berskala besar. (RIZ)