Bendungan Marangkayu Terhambat Klaim HGU, Baharuddin Desak DPRD Kaltim Respons Surat Warga

SAMARINDA. Pembangunan bendungan semestinya membawa harapan baru bagi petani. Tapi di Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara (Kukar) justru menyisakan kisah sengketa dan kebingungan. Warga di Kilometer 7 Marangkayu meminta kepada DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) untuk menjadi jembatan mediasi atas nasib tanah yang mereka kelola turun-temurun.

Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, menyuarakan desakan kepada pimpinan dewan agar segera merespons surat permohonan mediasi dari masyarakat Marangkayu. Konflik lahan antara warga dengan PT Perkebunan Nusantara XIII (PTPN XIII), yang mengklaim lahan seluas kurang lebih 100 hektare sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) mereka, hingga kini belum menemui titik terang.

“Ini bukan persoalan biasa. Ini soal hak atas tanah yang sudah dikelola warga sejak lama. Pimpinan DPRD tidak bisa diam. Surat permohonan mediasi dari masyarakat harus segera ditindaklanjuti,” ujar Baharuddin saat dikonfirmasi.

Konflik ini bermula dari proses ganti rugi lahan pembangunan bendungan yang telah dirancang sejak 2006. Kala itu, Baharuddin masih menjabat sebagai Kepala Desa di Marangkayu. Bendungan tersebut merupakan respon atas aspirasi petani yang kerap kesulitan air. Lokasi ditetapkan di Kilometer 7, dan pembayaran tahap awal sempat dilakukan pada 2007.

Namun, rencana besar itu terganjal pada 2017, ketika tiba-tiba muncul klaim HGU oleh PTPN XIII. Masyarakat yang merasa sebagai pemilik sah atas lahan itu mendadak dikejutkan oleh pernyataan sepihak yang belum pernah mereka dengar sebelumnya.

“Warga tidak pernah tahu ada HGU. Tidak pernah ada pemberitahuan, apalagi sosialisasi. Lahan itu dikelola turun-temurun,” ungkap Baharuddin.

Akibat sengketa ini, dana ganti rugi lanjutan akhirnya dititipkan oleh Balai Wilayah Sungai Kalimantan IV ke Pengadilan Negeri Tenggarong melalui mekanisme konsinyasi. Sayangnya, mekanisme tersebut justru menambah kabut ketidakpastian. Gugatan masyarakat ditolak pengadilan tingkat pertama, dengan pertimbangan yang, menurut Baharuddin, terlalu dangkal.

“Putusannya hanya berdasar selembar surat dari perusahaan, tanpa melihat realitas bahwa lahan itu sudah lama dikelola warga,” kritiknya.

Bagi Baharuddin, masalah ini tak bisa semata-mata dilihat sebagai konflik administratif. Di balik sengketa legalitas itu ada cerita tentang tanah sebagai sumber hidup, tentang keluarga-keluarga yang menggantungkan masa depan mereka pada sepetak lahan yang kini statusnya digantung.

“Ini bukan hanya urusan dokumen. Ini soal keadilan. Pemerintah tidak boleh membiarkan warga terpinggirkan begitu saja oleh klaim sepihak,” ujarnya.

Ia mendesak agar pimpinan DPRD Kaltim segera membuka ruang dialog melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP). Menurutnya, hanya dengan mempertemukan semua pihak, masyarakat, pemerintah, dan perusahaan, bisa ditemukan solusi yang adil dan berimbang.

“RDP itu kunci. Warga butuh kejelasan, bukan janji. Pemerintah dan perusahaan harus hadir dan bertanggung jawab,” tutup Baharuddin. (RIZ)