SAMARINDA. Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi I DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) pada Selasa (10/6/2025), membuka duduk perkara sengketa kepemilikan lahan yang melibatkan dua pihak. Yakni ahli waris pribadi dan institusi keagamaan. Di satu sisi, Hairil Usman, mewakili ahli waris Djagung Hanafiah. Di sisi lain, Keuskupan Agung Samarinda, yang kini menguasai tanah tersebut dan telah mendirikan gereja di atasnya.
Pertemuan berlangsung di Gedung E DPRD Kaltim dan dipimpin Wakil Ketua Komisi I, Agus Suwandy. Suasana rapat cenderung tegang, apalagi karena pihak Keuskupan tidak hadir. Padahal, posisinya sebagai penerima hibah menjadi sorotan utama.
Kuasa hukum Hairil memulai pemaparan dengan menjelaskan kronologi panjang yang berakar pada transaksi jual beli tahun 1988 antara orang tua Hairil dan seorang bernama Dony Saridin. Transaksi itu disebut tidak pernah dilunasi. Namun, masalah semakin pelik saat ditemukan perbedaan mencolok dalam dokumen SPPT yang diterbitkan oleh Margaretha, istri Dony Saridin. Luas tanah yang semula tercatat 20 x 30 meter tiba-tiba melonjak menjadi 75 x 73 meter. Aset itu kemudian dihibahkan ke Keuskupan Agung.
“Kami menduga Keuskupan juga korban pemalsuan. Tapi pertanyaannya, atas dasar apa mereka menerima hibah itu?” kata kuasa hukum Hairil.
Hairil sendiri menyatakan, tujuan utama bukan menggusur rumah ibadah, melainkan mendapatkan kepastian hukum atas tanah milik keluarganya.
“Kami tidak mengganggu aktivitas keagamaan. Tapi hak atas tanah perlu diluruskan,” tegasnya.
Pernyataan dari pejabat kelurahan dan kecamatan, termasuk Camat Sungai Pinang dan Lurah Mugirejo, membuat perkara kian buram. Mereka mengakui persoalan itu telah muncul jauh sebelum masa jabatan mereka. Mediasi sempat digelar tahun 2017, namun tanpa hasil.
Sementara Badan Pertanahan Nasional (BPN) Samarinda menyebut belum pernah menangani dokumen tanah yang disengketakan. Menurut mereka, karena belum ada sertifikat resmi, posisi BPN belum bisa masuk lebih jauh. Mereka hanya meminta jika dilibatkan lebih lanjut, maka seluruh dokumen pendukung harus disiapkan.
Anggota Komisi I, Yusuf Mustafa, turut menyoroti kemungkinan adanya klaim tumpang tindih atas nama lain seperti Maimunah. Ia menekankan pentingnya validasi surat-surat dan peta bidang secara menyeluruh.
Menanggapi kompleksnya kasus ini, Agus Suwandy menyerukan penyelesaian yang tidak menimbulkan kegaduhan sosial.
“Ini menyangkut tempat ibadah. Kita tidak ingin polemik hukum berubah jadi isu sensitif. Maka pendekatannya harus persuasif,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa Komisi I akan menggelar rapat lanjutan pada Selasa (17/6/2025), pukul 13.30 Wita. Sejumlah pihak akan kembali dipanggil. Terutama Keuskupan Agung Samarinda, ahli waris Margaretha dan Dony Saridin, serta mantan Ketua RT 36 Sungai Pinang Dalam, Nurmansyah.
“Tujuannya jelas, memastikan keabsahan dokumen yang ada. Jangan sampai surat-surat dibuat untuk lahan di satu lokasi, tapi objeknya berada di tempat lain,” tutup Agus. (adv)