KUKAR. Ketimpangan akses pendidikan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) kembali menyeruak. Saban tahun, sekolah negeri di Kukar kewalahan menampung pendaftar baru. Fenomena ini, menurut anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Sarkowi V Zahry, adalah cerminan ketimpangan struktural yang belum tersentuh solusi konkret.
“Setiap tahun, jumlah pendaftar melonjak. Ini bukti bahwa masyarakat masih sangat bergantung pada sekolah negeri yang dianggap lebih terjangkau,” kata Sarkowi, yang juga merupakan wakil rakyat dari daerah pemilihan Kukar.
Masalahnya, lanjut dia, daya tampung sekolah negeri masih jauh dari cukup. Bagi banyak keluarga di Kukar, sekolah negeri menjadi satu-satunya harapan. Ketika kursi sekolah negeri habis, sebagian anak terpaksa menunda sekolah. Bagi yang berasal dari keluarga mampu, sekolah swasta mungkin solusi. Tapi bagi banyak lainnya, itu artinya pupus harapan melanjutkan pendidikan.
Sarkowi juga menyoroti masalah yang lebih kompleks. Kali ini soal geografis Kukar yang luas dan tidak ramah akses. Banyak desa terpencil berjarak puluhan kilometer dari pusat kota, membuat pendidikan terasa seperti kemewahan yang jauh dari jangkauan.
“Ini bukan cuma soal bangun gedung sekolah. Kita harus tahu kebutuhan tiap wilayah. Kita butuh peta pendidikan yang berbasis realitas lapangan, bukan asumsi di atas meja,” tegasnya.
Ia menyebut rencana pembangunan sekolah baru di kawasan Loa Tebu sebagai langkah strategis. Lokasi ini dinilai mampu menjangkau beberapa desa sekaligus. Namun seperti biasa, tantangannya bukan pada niat membangun, melainkan pada pembebasan lahan yang tak kunjung rampung.
“Selalu mentok di soal lahan. Ini bukan tanggung jawab satu pihak. Harus ada sinergi antara provinsi, kabupaten, bahkan masyarakat melalui hibah,” ujar politikus Golkar itu.
Lebih jauh, Sarkowi menekankan bahwa ketimpangan daya tampung sekolah memiliki dampak sosial jangka panjang. Anak-anak yang gagal masuk sekolah negeri bukan hanya kehilangan satu tahun pendidikan, tapi juga kepercayaan diri dan kesempatan yang semestinya dimiliki setiap anak.
“Jangan sampai masa depan mereka ditentukan oleh kode pos tempat tinggal. Kita tidak sedang bicara bangunan, tapi soal keadilan pendidikan,” tegasnya. (RIZ)