SAMARINDA. Ketimpangan antara program pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota kembali mencuat. Memunculkan pertanyaan soal efektivitas anggaran, situasi ini dinilai menciptakan ruang bagi pemborosan dan gagalnya program menyentuh akar persoalan masyarakat.
Anggota Komisi III DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Syarifatul Sya’diah, tak menutup mata terhadap fenomena ini. Ia menyebut ketidaksinkronan perencanaan antarlembaga pemerintahan telah berlangsung terlalu lama, dan berpotensi menjadi penghambat utama pembangunan daerah.
“Program provinsi dan kabupaten/kota masih sering jalan sendiri-sendiri. Ini jadi persoalan besar ketika bicara soal dampak langsung ke masyarakat,” ujar Syarifatul saat ditemui Selasa (3/6/2025).
Menurutnya, absennya perencanaan yang terintegrasi berimbas pada tumpang tindih kegiatan, duplikasi anggaran, dan hilangnya fokus. Dalam kondisi fiskal yang menurun, situasi semacam ini bisa berujung fatal.
Ia mendorong agar rapat koordinasi yang melibatkan Pemprov, pemerintah kabupaten/kota, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), hingga DPRD—bukan lagi sekadar seremoni tahunan.
“Rakor harus rutin dan terstruktur. Kalau arah pembangunan di tiap level bisa nyambung, hasilnya akan lebih tepat sasaran dan tidak boros,” tegasnya.
Syarifatul juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor. Ia menyebut, program strategis daerah seperti gratis pol dan jos pol tidak cukup dijalankan hanya oleh pemerintah.
“Dunia usaha dan masyarakat perlu dilibatkan lebih jauh. Tanpa dukungan mereka, program unggulan Pemprov akan susah terasa dampaknya,” katanya.
Penurunan kapasitas fiskal Kaltim dari Rp21 triliun menjadi Rp18 triliun menurutnya menjadi sinyal peringatan bahwa era belanja besar-besaran sudah lewat. Kini, efisiensi dan sinergi lintas sektor bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
“Kalau anggaran makin terbatas, maka satu-satunya jalan adalah menyelaraskan program secara menyeluruh. Kalau tidak, pembangunan kita bisa berhenti di tengah jalan,” tutupnya. (adv)