SAMARINDA. Wacana penerapan pendidikan gratis 12 tahun secara nasional kembali mengemuka sebagai bagian dari dorongan pemerataan akses pendidikan di seluruh Indonesia.
Namun di balik semangat kebijakan tersebut, muncul kekhawatiran soal dampaknya terhadap keberlanjutan pendidikan swasta yang telah lama menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Fadly Imawan, anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, menyampaikan pandangan kritis terhadap arah kebijakan yang terlalu menitikberatkan peran negara tanpa mempertimbangkan peran strategis sektor swasta.
Menurutnya, komitmen pemerintah dalam menjamin pendidikan dasar bagi seluruh warga negara memang tidak bisa ditawar, namun tidak berarti semua aspek pendidikan harus dimonopoli oleh negara.
“Pendidikan gratis adalah langkah penting untuk pemerataan, tapi bukan berarti kita menutup ruang bagi inisiatif swasta yang selama ini telah berkontribusi besar,” ujar Fadly, Jum’at (11/7/2025).
Ia mengingatkan, banyak sekolah swasta hadir bukan hanya karena keterbatasan fasilitas negeri, tetapi juga sebagai pilihan kualitas, karakter pendidikan, dan pendekatan kurikulum yang lebih fleksibel.
Keberadaan sekolah-sekolah ini, lanjutnya, telah memberi alternatif sekaligus mendorong persaingan sehat dalam peningkatan mutu pendidikan nasional.
Di sisi lain, Fadly menyoroti kesiapan fiskal pemerintah, baik pusat maupun daerah. Ia menilai, apabila pembiayaan pendidikan gratis dibebankan sepenuhnya kepada daerah tanpa dukungan fiskal yang cukup, maka hal ini bisa menimbulkan tekanan baru, terutama bagi provinsi dengan kemampuan anggaran yang terbatas.
“Kaltim memang memiliki kekuatan fiskal yang relatif baik. Tapi kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak semua daerah punya kapasitas yang sama. Pemerintah pusat perlu menghitung beban ini secara adil,” ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa pendekatan satu pintu dalam penyelenggaraan pendidikan berisiko mereduksi keragaman sistem pendidikan yang selama ini telah berjalan. Bagi Fadly, keberhasilan sistem pendidikan tidak bisa dilepaskan dari sinergi antara pemerintah dan swasta.
Dengan begitu, jika seluruh beban pendidikan diambil alih negara tanpa yang matang, risiko penurunan mutu bisa terjadi. Terutama jika fokus pemerataan dilakukan dengan mengorbankan fleksibilitas dan kualitas pembelajaran.
“Kebijakan nasional harus dirancang secara inklusif. Negara hadir sebagai penjamin hak pendidikan, tapi bukan sebagai satu-satunya aktor. Swasta tetap perlu ruang dan dukungan,” tegasnya.
Fadly pun mendorong agar pemerintah lebih bijak dalam merumuskan kebijakan pendidikan. Ia menekankan perlunya kolaborasi lintas sektor demi membangun sistem pendidikan yang merata, berkualitas, dan berkelanjutan. (adv)