Samarinda.Jurnaletam – Angin perubahan tengah berembus dalam lanskap demokrasi Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK), melalui putusan terbarunya, memerintahkan agar pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi digelar serentak, melainkan dipisah dengan jeda waktu antara dua tahun hingga dua setengah tahun.
Putusan yang diketok palu pada Kamis, 26 Juni 2025 ini menjadi babak baru dalam sejarah pemilu Indonesia. Namun di balik perubahan itu, muncul pertanyaan besar: siapkah kita menerima dan menindaklanjuti?
H. Salehuddin, S.Sos, S.Fil, M.AP, Sekretaris Komisi I DPRD Kalimantan Timur, menjadi salah satu sosok yang memberi perhatian serius terhadap implikasi putusan tersebut. Politisi dari Fraksi Golkar ini mengaku pihaknya sudah membahas isu tersebut dalam diskusi internal bersama Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar dan Fraksi Golkar DPR RI.
“Kami Fraksi Golkar beberapa waktu lalu memang berdiskusi langsung dengan Sekjen DPP dan Fraksi Golkar DPR RI membahas putusan MK ini,” ungkap Salehuddin, Rabu (10/7/2025).
Namun, yang menurutnya lebih penting dari sekadar diskusi politik adalah bagaimana masyarakat dan para elite merespons keputusan lembaga peradilan konstitusional tertinggi itu.
“Yang harus kita jawab pertama adalah, apakah kita masih percaya pada MK sebagai lembaga tinggi negara? Kalau iya, maka sudah sewajarnya amar putusan itu kita hormati dan tindak lanjuti,” tegasnya.
Putusan tersebut memang tidak main-main. MK memerintahkan agar pemilu nasional – yang mencakup pemilihan Presiden, Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD – dipisahkan dari pemilu daerah, yang meliputi pemilihan anggota DPRD, gubernur, bupati, dan wali kota.
Secara teknis, pilkada serentak selanjutnya bisa saja baru digelar pada 2031, sekitar dua tahun setelah Pemilu Nasional 2029. Itu berarti, seluruh desain pemilu yang selama ini disusun serentak sejak 2019, kini harus dirombak.
Menurut Salehuddin, jika keputusan MK ini benar-benar diakui dan dianggap sah, maka implikasi hukumnya sangat luas. Bisa jadi, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilu, bahkan mungkin menyentuh ketentuan dalam UUD 1945 jika dianggap relevan.
“Tinggal bagaimana pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenkumham dan DPR RI, bisa menafsirkan putusan itu ke dalam regulasi yang operasional. Ini tidak bisa dibiarkan mengambang,” katanya.
Ia menyadari, putusan MK ini akan menimbulkan perdebatan panjang di tengah publik. Pro dan kontra menjadi keniscayaan. Namun ia menilai, proses hukum yang sudah final tidak sepatutnya diabaikan.
“Walaupun di masyarakat pasti akan ada perbedaan pandangan, kita tidak bisa menutup mata bahwa ini adalah putusan konstitusional. Sekarang tinggal bagaimana negara merespons secara sistematis dan bertanggung jawab,” pungkasnya.